Kamis, 18 Agustus 2016

Mitos Tentang Sungai Musi dan Jembatan Ampera

Selasa malam. Pukul 02.00 di bibir sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, pasangan muda-mudi saling bercengkerama. Ditemani sinaran elok dari lampu-lampu yang berjejal pada kekarnya jembatan ampere. Paparan Musi ternyata masih membius tiap generasi untuk memadu cinta di tepiannya.
Malam makin larut, lapi tak henti kendaraan hilir mudikdan memarkir di bilangan sudut Ampera. Jauh ber-beda dengan kondisi tahun-tahun nan lampau, kota Palembang kini ielatif aman dan membuat orang betah keluar malam.
Ya, inilah sebuah karya dari za-man kejayaan Presiden Soekamo yang tak lekang dimakan tahun, karena Ampera dan Musi masih menjadi simbol kebanggaan rakyat Palembang. Sungai Musi adalah pusatdarisegalanya. Untuk kegiat-an sosial dan ekonomi, dari dahulu hingga kini, banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai ini sebagai pusat beraktivitas.
Tldak hanya di bilangan kota, su¬ngai ini juga menjadi sumber kehi-dupan di seluruh Sumatera Selatan tempo dulu, Musi laksana sirkuit bagi puluhan perahu tradisional yang mengangkutdagangandan hasil bumi sebuah potret kehidupan tradisional yang patut ditestarikan.
Berkaitan dengan pemanfaatan, masih banyak masyarakat yang melakukan pdanggaran dalam eksplo-rasi Dotensi sungai Musi. Pada beberapa kasus, orang tak bertanggung jawab memanfaatkan sungai ini untuk mencari barang bersejarah dan tambang.
JEMBATAN AMPERA
Kemegahan sungai sepanjang 750 kilometer ini semakin bertambah ketika di awal 60-an, Soekamo mengabulkan permintaan rakyat Palembang untuk memiliki sebuah jembatan yang menghubungkan lebamya sungai Musi. Jembatan ter¬sebut dibangun dengan dana pampasan perang Jepang.
Sebelumnya jembatan tersebut dinamakan Jembatan Soekamo, sebagai bentuk penghormatan terha-dap Presiden pertama Rl tersebut Namun akibat pergolakan politik yang banyak bergelut dalflm pemikiran anti Soekarno pada1966, jembatan ini pun diubah namanya menjadi Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Awalnya Jembatan Ampera difungsikan naik-turun sehingga bisa dilewati kapal-kapal berukuran lebar 60 meter dan tinggi maksimal 44,50 meter. Dengan dua bandul berbobot 500 ton, bagjan tengah jembatan ini bisa diangkat dengan kecepatan 10 meter per menit atau sekitar 30 menit untuk mengangkat jembatan secara penuh.
Namun sejak 1970, naik-turun jembatan tak difungsikan lagi. Alasannya karena waktu 30 menit amat menganggu lalu lintas antara ulu dan ilir yaitu daratan yang dibelah Musi.
LEBIH BERSIH NAMUN SEPI
Menarik tahun ke belakang, pada awal 2000-an, kawasan sekitar Arnpera penuh dengan aktivrtas perdagangan berupa pasartemporer. Aktivitas perekonomian dalam bentuk konservatif dan tradisional mengisi hari-hari’di sekitar Ampera. Hal yang paling diingat adalah kriminalitas yang selalu menjadi ancaman bagi pengunjung.
Malam itu, Muhammad Amir (39) masih menggunakan seragam dinasnya dan tetap setia menanti satu per satu sisa pengunjung yang ingin memarkir kendataannya. Tidak tampak sedikit pun kelelahan dari wajah pria yang mulai memasuki usia senja tersebut. Dengan logat khas Palembang, Amir menyambut setiap pengunjung dengan ramah. Ampera dan sungai Musi adalah bagian dari hidupnya.
Menurut Amir, Ampera dan su¬ngai Musi tak lagi seperti pada ta¬hun-tahun silam. “Sekarang sekitar Ampera memang lebih bersih dan tertata. Tapi sayang, tingkat kunjungan lebih sepi dibanding tahun-tahun sebdumnya. Tapi ada perubahan yang lebih baik sejak ada taman ko¬la di sini, di sekitar Ampera tebih ber¬sih, tertata, dan amah,” jelas Amir.
Keunikan Ampera menjadi ke¬banggaan Falembang. Sayang, kini nasibnya tetpuruk. Banyak wong (orang) asli Ralembang yang menyesalkan keterpurukan wahana ke-banggaan itu. Seperti diutarakan seorang kenalan yang sudah merantau ke tanah Jawa, Ampera kini tak lagi seperti dulu yang teriihat indah serta menarik untuk obyek wisata. “Am¬pera saat ini hanya sebagai bagian dari aktivitas penghubung transportasi antara seberang ulu dan ilir,” ujar kenalan tersebut. la berharap ada upaya atau kebijakan untuk kembali membangkitkan tingkat kuhjungan di sekitar Ampera dan Musi.
KOTOR DAN BAU
Penasaran oleh kisah keindahan sungai yang dielu-elukan warga Palembang tersebut, saya mencoba menyisir sedikit lebih dekat ke tepi bibir permukaan air. Ralembang du¬lu disebut-sebut merupakan kota sungai yang berpotensi seperti kota Bangkok dengan sungai Chao Praya di Thailand atau kota Phnom Penh dengan sungai Mekong di Kambpja. Namun sayang ketika mendekati sungai penciuman, yang tertangkap bukan keindahan, melainkan air kotor dan mengeluarkan bau tak sedap. Padahal, mendekatkan Musi sebagai obyek wisata harus melihat sisi kenyamanan para pengunjungnya.
Syahdan, air sungai Musi dulu jernih dan memukau. Seiring waktu, limbah industri, rumah tangga, dan mereka yang tidak peduli kelangsungan harta berharga ini mencemari keindahan Musi. Ini tantangan bagi pemerintah kota bahkan provinsi untuk dapat mengembalikan keindahan Musi yang tidak hanya dilihat dari satu perspektif sudut pandang. Lebih bersih pada penempatan taman kota bukan berarti melu-pakan kejernihan dan lestarinya ekologi sungai ini.
Semi (30) seorang awak perahu menuturkan kepahitan pariwisata di sekitar Musi. “Kami dulu di sini sesama awak perahu merasakan betul keramaian Musi. Setiap hari hampir selalu ada orang yang berkunjung dan menikmati panorama sekitar Musi dengan menggunakan perahu. Saat ini, jangankan untuk menargetkan pendapatan, kami sendiri pun tidak pemah tahu kapan mendapatkan rezeki. Pendapatan ekonomi tidak menentu, kadang ada yang sewa perahu, kadang selama satu minggu lamanya tidak mendapatkan sevvai satu pun. De¬ngan semua ini, jangankan untuk berbelanja, untuk makan pun sulit nian,” rintih Semi.
Artinya beberapa program yang dicanangkan pemerintah daerah lewat Dinas Pariwisata masih ha¬rus dikaryakan dan diperbanyak lagi lewat promosi dan pergelaran terpadu. Kaitannya adalah meningkatkan kunjungan dan meng-‘ undang investor.
Seperti yang banyakterjadi di dalam negeri, hampir semua potensi yang layak diunggulkan perlahan malah menjadi mati. Kekayaan Mu¬si, Palembang, dan Sumatera Sela-tan seharusnya lebih disoroti. Sriwijaya pernah membangun kejayaan Patembarjg di abad ke-7 hingga 12.
Sebelum benar-benar mati, kebersamaan dari masyarakat, swasta, dan pastinya pemerintah sebagai regula¬tor harus lebih berkolaborasi.
Masih membekas di memori program Visit Musi 2008. Dengan berbagai pergelaran, diharapkan Musi kembati ada di hati para wisatawan. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan Euis Rosita mengatakan, Visit Musi 2008 berhasil menyedot angka kunjungan melebihi target 2,5 juta pengunjung atau tepatnya 2.650.000 orang.
Sudut pandang Palembang seba¬gai kota wisata air bisa dihidupkan dan tentunya dampak langsung dapat dirasakan demi kesejahteraan kehidupan sekitar Musi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar